Limbah Kotoran Burung Walet, Inovasi Pupuk Organik Ramah Lingkungan dari Barito Selatan

Penulis: (Riri Fardhani)

 

Buntok – Kabupaten Barito Selatan di Kalimantan Tengah, dikenal sebagai penghasil sarang burung walet dengan nilai ekonomi yang tinggi. Namun, limbah kotoran burung walet, yang selama ini sering dianggap tak berguna, ternyata menyimpan potensi besar sebagai pupuk organik ramah lingkungan.

Inovasi ini dihadirkan oleh Riri Fardhani, seorang mahasiswa magister yang tengah menjalani program Kandidat Magister Mengabdi (KMM) di Desa Sababilah, Kecamatan Dusun Selatan.

Selama satu minggu penelitian, dari 9 hingga 15 Desember 2024, Riri menggali potensi kotoran walet untuk menggantikan pupuk kompos dalam pertanian monokotil dan hortikultura.

“Kotoran walet mengandung nutrisi penting seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan kalsium. Dengan pengolahan yang tepat, limbah ini dapat menggantikan pupuk kompos yang selama ini digunakan oleh petani,” ungkap Riri.

Inovasi ini diawali dengan pengolahan kotoran walet menjadi pupuk organik padat dan cair di kebun pribadi Riri. Metode yang digunakan cukup sederhana, memanfaatkan alat seperti timbangan digital, ember, dan mangkuk kecil.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tanaman yang diberi pupuk dari kotoran walet tumbuh lebih subur dan cepat dibandingkan dengan penggunaan pupuk konvensional.

“Kotoran walet tidak hanya meningkatkan kesuburan tanah, tetapi juga berfungsi sebagai fungisida alami. Kandungan mikrobiotik flora di dalamnya melindungi tanaman dari hama, seperti nematoda, yang sering menjadi masalah petani,” tambah Riri.

Inovasi pupuk organik dari kotoran walet ini juga mendapat apresiasi dari para pakar hortikultura. Prihasto Setyanto, Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, mengungkapkan bahwa sekitar 40-45% kotoran walet terdiri dari material organik yang sangat efektif untuk memperbaiki struktur tanah.

“Ini adalah potensi lokal yang luar biasa. Kotoran walet sangat cocok untuk meningkatkan kesuburan tanah dan mendukung pertanian berkelanjutan,” ujar Prihasto.

Namun, tantangan utama yang dihadapi dalam penelitian ini adalah kurangnya kesadaran petani lokal tentang manfaat kotoran walet. Riri menekankan pentingnya edukasi kepada petani agar mereka memahami cara pengolahan yang tepat.

“Penting untuk diingat bahwa kotoran walet tidak boleh digunakan langsung pada tanaman, karena bisa berdampak negatif. Sebaliknya, limbah ini harus diolah menjadi pupuk kompos atau cairan aktivator terlebih dahulu,” ujarnya.

Selain manfaat untuk tanaman, kotoran walet juga memberikan dampak positif bagi lingkungan. Sebagai pupuk organik, limbah ini tidak mengandung residu kimia yang dapat merusak tanah atau air.

Prihasto Setyanto menambahkan bahwa pupuk organik ini merupakan langkah penting untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia yang merusak ekosistem.

“Kita perlu beralih ke pupuk organik untuk menjaga keberlanjutan pertanian dan kelestarian lingkungan,” katanya.

Hasil penelitian Riri menunjukkan peningkatan kesuburan tanah hingga 30% dan pertumbuhan tanaman yang lebih optimal dibandingkan dengan penggunaan pupuk biasa.

“Kotoran walet bukan hanya limbah, melainkan sumber daya yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian secara signifikan,” ungkap Riri.

Inovasi ini juga membuka peluang besar bagi petani lokal. Dengan edukasi yang terus dilakukan, Riri berharap pupuk organik dari kotoran walet dapat diterima luas di Barito Selatan dan di seluruh Indonesia.

“Ini adalah solusi untuk tantangan global, seperti kelangkaan pupuk dan degradasi tanah,” pungkasnya.

Program KMM yang digagas Riri telah membuka wawasan bagi petani di Desa Sababilah, yang kini melihat kotoran walet sebagai peluang baru dalam pertanian mereka.

Salah satu petani setempat mengungkapkan, “Dulu kami tidak tahu jika limbah ini bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Setelah mencobanya, hasilnya sangat memuaskan.”

Dengan hasil yang menjanjikan, Riri berharap Barito Selatan dapat menjadi pelopor dalam penerapan pertanian berkelanjutan berbasis pemanfaatan sumber daya lokal, seperti kotoran walet.

Dengan pemanfaatan yang tepat, Barito Selatan tidak hanya akan dikenal sebagai penghasil sarang burung walet, tetapi juga sebagai daerah yang mengedepankan solusi pertanian ramah lingkungan untuk Indonesia.

Inovasi pupuk organik dari kotoran burung walet merupakan terobosan yang tidak hanya meningkatkan produktivitas pertanian, tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan.

Potensi besar yang dimiliki Barito Selatan menjadikannya sebagai pelopor dalam pertanian berkelanjutan di Indonesia, dengan kotoran walet sebagai sumber daya lokal yang bernilai tinggi. (am)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *